Bandar Lampung,Harian Koridor.com-Secara tegas Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung Wirahadikusumah menolak pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang multitafsir dan dianggap mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pemateri Diskusi Publik UKM-F Peristiwa Fakultas Hukum Universitas Lampung, Selasa (9/8/2022) pagi.
Diskusi yang mengusung tema “Polemik RUU-KUHP: Ancaman Terhadap Kebebasan Pers dan Ruang Berekspresi” juga dihadiri pemateri dari Akademisi Hukum Dr. Eddy Rifai dan anggota Komisi I DPRD Lampung Wahrul Fauzi Silalalhi.
Dalam paparannya, Wira menjelaskan ada 8 poin dalam RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Sebelumnya telah diajukan oleh Dewan Pers kepada Ketua Majelis Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo.
"RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan
poin yang sudah diajukan," ucap Wira yang juga merupakan Aktivis semasa mahasiswa.
RUU KUHP dapat mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Dimana Pasal-pasal tersebut
yang bisa menjadi bahan terhadap orang atau instansi yang tidak terima dengan hasil karya jurnalistik.
"Pelanggaran terhadap etika jurnalistik, harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui prosedur dan mekanisme diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers," tegasnya.
Sementara dalam RUU KUHP yang saat ini draftnya sudah final, terdapat
sejumlah pasal yang dapat mengancam pada kebebasan dan kemerdekaan pers.
"Kami yang terancam! Ini yang mengancam kemerdekaan pers. Oleh sebab itu kami teriak-teriak," ucap Wira dalam paparannya kepada mahasiswa UKM-F Peristiwa yang merupakan organisasi pers mahasiswa.
Wira juga mengungkapkan bahwa RUU KUHP tidak lagi melibatkan partisipasi publik. Dimana Dewan Pers tidak lagi diundang sebagai objek prodak hukum untuk ikut dalam pembahasan.
"Tapi mereka tidak lagi melibatkan partisipasi publik untuk urun rembuk dalam membahas RUU KUHP. Memang banyak pasal tidak kontoversial," jelasnya.
Menurutnya 8 poin ini ancaman bukan lagi kebebasan kemerdekaan, karenanya ini dapat membuat jurnalis tidak lagi bisa bebas berekspresi.
"Kawan-kawan mahasiswa juga yang tertarik ke jurnalistik tidak lagi dapat bebas berekspresi," ucapnya.
Sementara akademisi hukum Dr. Eddy Rifai menjelaskan, pengaduan terhadap wartawan itu tidak dapat langsung kepada penegak hukum.
"Bahkan sudah ada MoU di tingkat pusat, antara Dewan Pers dengan penegak hukum," ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa prosedur terkait pelanngaran kodeetik jurnalistik melalui Dewan Pers.
"Tapi di Dewan Pers bukan berarti membela wartawan, kalau memang itu merupakan sengketa pers maka didamaikan dengan prosedur pers. Jika itu menurut Dewan Pers beritanya masuk unsur pidana maka baru masuk ke KUHP," jelasnya.
Sementara, Wahrul Fauzi Silalahi mengungkapkan bahwa korpurasi dengan kekuasan sangat bernegosiasi dalam pembuat kebijakan.
"Maka pertarungannya adalah gerakan CSO nya harus kuat, publiknya harus untuk kontrol. Kalau gerakan CSO, mahasiswa, publik tidak kuat maka tidak ada kontrol," jelasnya.
Ia menambahkan, jika penyusunan RUU KUHP ini fair dan terbuka maka harus diskusi dan disampaikan ke publik.
"Jadi peristiwa ini untuk memperkuat dalam gerakan publik saya setuju," pungkasnya. (*)
Berikut 8 poin RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers di Indonesia.
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara
2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan
Wakil Presiden , perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan - ketentuan tentang
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( KUHP )
yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi ( MK ) berdasarkan Putusan Nomor 013 022 / PUU - IV / 2006
3. Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah , serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata " penghinaan" dan "hasutan" sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi ; 4 ) Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong
4. Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan
5. Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan
6. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
7. Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaa : pencemaran nama baik
8. Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar